Eklesiologi Pneumatikal: Ketika Gereja Dipimpin Struktur, Bukan Roh

Pdt. Dr. Hanny Setiawan, M. B. A.

Dalam lanskap eklesial kontemporer, berbagai tradisi gereja menghadapi krisis yang tidak sepenuhnya bersifat moral atau doktrinal, melainkan pneumatologis. Gereja telah menjadi korban dari struktur kelembagaan, prosedur administratif, dan sistem kekuasaan yang cenderung meniru pola dunia. Dalam bahasa Wolfgang Vondey, ini adalah transisi dari living community of the Spirit menjadi institutional religion of control. Jika Roh Kudus tidak lagi menjadi prinsip penuntun gereja, maka ekklesia kehilangan vitalitasnya sebagai tubuh Kristus yang hidup.

Roh sebagai Prinsip Eklesiologis

Amos Yong, dalam karyanya The Spirit Poured Out on All Flesh, menekankan bahwa Roh Kudus bukan sekadar kuasa untuk pelayanan, tetapi dasar ontologis dari gereja itu sendiri. Roh adalah “the ecclesiogenic Spirit”—Roh yang melahirkan, memelihara, dan menuntun Gereja. Dalam Kisah Para Rasul, Gereja muncul sebagai respons terhadap pencurahan Roh, bukan karena konsensus institusional (Kis. 2). Ketika komunitas percaya mengambil keputusan penting, seperti dalam Kisah Para Rasul 15:28, dikatakan: “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami.” Ini adalah bentuk kemitraan spiritual, bukan dominasi struktural.

Struktur Versus Karisma: Paradoks Eklesial

Frank D. Macchia dalam Baptized in the Spirit menjelaskan bahwa gereja adalah realitas pneumatologis yang menuntut keterbukaan terhadap karunia-karunia Roh (charismata), bukan dominasi jabatan formal (officia). Ketika jabatan dipisahkan dari Roh dan fungsinya dikekalkan secara struktural, maka gereja mengalami apa yang Macchia sebut sebagai “institutionalization of the Spirit”, yaitu saat Roh dikurung dalam batas-batas sistem liturgi dan birokrasi gereja.

Wolfgang Vondey menambahkan bahwa eklesiologi Pentakostal harus bersifat dynamic, eschatological, and participatory—menolak model vertikal dan hierarkis yang tidak memberi tempat bagi keterlibatan umat secara aktif dan karismatis. Gereja bukanlah piramida kekuasaan, tetapi jaringan persekutuan yang saling bergantung dalam karunia.

Krisis Kepemimpinan: Pneumatologi yang Terpinggirkan

Amos Yong memperingatkan bahwa ketika Roh dipinggirkan dari pengambilan keputusan gereja, maka yang muncul adalah logika manajerial yang bersumber dari modernitas dan bukan dari Kitab Suci. Dalam konteks ini, Matius 20:25-26 menjadi teguran profetik bagi gereja: “Tidaklah demikian di antara kamu!” Gereja bukanlah cermin kekuasaan dunia, melainkan ikon dari kerajaan Allah yang diperintah oleh Roh.

Paulus mengingatkan dalam 1 Korintus 12 bahwa tubuh Kristus tidak dibangun oleh kekuasaan pusat, tetapi oleh distribusi karunia Roh kepada seluruh anggota. Pemimpin sejati dalam gereja adalah mereka yang mengenali dan melayani pekerjaan Roh dalam komunitas, bukan mereka yang sekadar memegang otoritas struktural.

Menuju Eklesiologi Pneumatikal

Eklesiologi yang sejati menuntut pembalikan dari logika kekuasaan ke logika Roh. Ini bukan sekadar reformasi kelembagaan, tetapi pertobatan epistemologis—sebuah pembaruan pikiran tentang apa itu Gereja. Dalam kerangka ini, persekutuan Kristen bukan hanya tentang kesatuan administratif, melainkan koinonia dalam Roh Kudus (2 Kor. 13:13). Ini juga berarti membangun discernment communities seperti yang dikembangkan dalam Kisah Para Rasul, di mana keputusan gereja bersumber dari dialog dengan Roh, bukan dari komite yang terputus dari kehidupan doa.

Gereja yang Dihidupkan oleh Roh

Jika Gereja ingin tetap setia kepada identitasnya sebagai tubuh Kristus, maka ia harus melepaskan ketergantungan eksesif pada struktur dan membuka diri terhadap dinamika Roh Kudus. Sebagaimana ditegaskan oleh Macchia, “the Church is most fully the Church when it lives in the baptismal power of the Spirit.” Gereja harus menjadi organisme pneumatologis, bukan organisasi birokratis.

Dengan demikian, Gereja tidak akan menjadi museum tradisi, tetapi laboratorium eskatologis tempat Roh Kudus terus bekerja mempersiapkan umat bagi kedatangan Kerajaan Allah. Sebab “semua orang, yang dipimpin oleh Roh Allah, adalah anak Allah” (Roma 8:14)—dan hanya anak-anak Allah yang dapat membangun Gereja sejati.

(c) Pusat Studi Pentakosta Indonesia 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *