Sederhanakan Injil!

Pdt. Dr. Hanny Setiawan, M.B.A

Di tengah derasnya arus pemikiran teologis, kajian bahasa asli, konteks historis, sistematika doktrinal, dan debat apologetika, ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita: kesederhanaan Injil. Bukan berarti semua kajian itu tidak penting—mereka memperkaya pengertian kita tentang iman. Namun, seringkali kita terlalu jauh menggali hingga kehilangan permata yang sejak awal bersinar terang: Injil adalah kabar baik yang sederhana.

Injil yang Sederhana

Injil bukan teori rumit. Injil bukan spekulasi teologis. Injil adalah kabar baik: Yesus Kristus mati karena dosa-dosa kita, Ia dikuburkan, dan pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci (1 Korintus 15:3-4). Inilah inti dari segala sesuatu yang kita imani. Bukan tentang ritual, bukan tentang gereja mana yang benar, bukan pula tentang kemampuan intelektual memahami sistem soteriologi.

Keselamatan bukan hasil perdebatan, tapi hasil percaya. Injil tidak meminta kita menjadi sarjana, Injil meminta kita menjadi anak kecil—percaya.

Keruh Karena Kita Sendiri

Ironisnya, dalam semangat memahami lebih dalam, kita justru kerap mengaburkan Injil. Kita membuatnya eksklusif, padahal Injil diperuntukkan bagi semua. Kita menyusunnya dalam kerangka sistem teologi, padahal Injil turun dalam bentuk pribadi yang hidup—Yesus. Kita memberi beban tambahan dengan syarat-syarat tak tertulis: harus paham ini, harus setuju itu, harus lewat gereja tertentu.

Padahal, Injil adalah undangan terbuka. Percaya—itu saja. Percaya bahwa kasih Allah begitu besar, hingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Waktunya Kembali ke Dasar

Mungkin ini saatnya kita kembali ke Injil yang polos. Yang sederhana. Yang hanya berkata: “Yesus mati untukmu. Ia bangkit untukmu. Percayalah.” Bukan dengan sikap anti-intelektual, tapi dengan kesadaran bahwa kedalaman iman tidak boleh menghilangkan kesederhanaan pesan.

Mari kita kabarkan Injil seperti seorang pengemis yang menemukan roti dan memberi tahu pengemis lain di mana bisa mendapatkannya. Bukan sebagai guru besar yang menuntut kelulusan.

 

“Injil itu sederhana karena kasih itu tidak rumit. Yang rumit adalah hati kita yang terlalu sombong untuk sekadar percaya.”
Hanny Setiawan

 

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *